Senin, 13 April 2009


Di sebuah desa di dunia "Travian". Malam gelap gulita. Sang bulan hanya mampu menerangi sebagian wilayah desa itu yang hanya berteman hutan dan lahan pertanian. Tampak samar-samar seorang Imperiant bernama Paul duduk melamun. Pandangannya tertuju ke sebuah padepokan yang hanya diterangi 2 buah obor di depannya. Lamunannya melayang jauh membayangkan pemilihan ksatria yang akan dilaksanakan besok pagi.
"Hmm......besok pagi adalah batas penantian yang dinanti-nantikan. Seluruh pemuda besok akan berkumpul di titik temu. Akan ada pelatihan besar-besaran. Akan ada seleksi untuk pemilihan ksatria baru. Dan setelah itu akan terjadi peperangan besar-besaran. Seluruh Imperian, Legionnaire, Praetorian, Equities Legattie, Equities Imperatoris, Equities Caesaris berkumpul di titik temu. Berpuluh-puluh ram dan fire catapult di produksi di bengkel. Seluruhnya dipersiapkan untuk menggempur "Zascrout". Akh semuanya itu tidak lah penting bagiku. Yang terpenting sekarang ini adalah aku harus terpilih sebagai ksatria. Ya, hanya itulah yang terpenting bagiku. Hkhh...andai saja aku yang terpilih besok Ayahku pasti akan bangga,"ucapnya dalam hati sembari mengenang Ayahnya, sang Equities Imperatoris legendaris di desanya. Terbayang saat berusia 11 tahun dia menyaksikan Ayahnya dengan gagah berani menghabisi pasukan Teuton yang hendak merampok desanya. Ia menyaksikan betapa hebat dan tangkas Ayahnya memainkan pedang di atas kudanya. Ia pun berhasrat ingin mengikuti jejak Ayahnya itu.
"Ayah...meski engkau telah terbujur kaku di atas perapian. Meski rohmu melayang ke alam sana. Meski kini orang-orang hanya ingat nama dan kisah heroikmu. Aku ingin kau saksikan anakmu mengikuti jejakmu. Ayah....beradalah disampingku selama jalan hidupku ku tempuh,"teriak Paul ditengah kesunyian malam itu. Kemudian dia terduduk mengenang indahnya masa-masa bersama Ayahnya. Saat bersama-sama mengejar anjing hutan untuk disantap. Saat bermain petak umpat. Saat belajar teori perang. Dan yang paling berkesan baginya saat-saat Ayahnya melatihnya bermain pedang. Dia tersenyum Ayahnya memang yang terbaik untuk dirinya. Seperti saat 2 tahun lalu di tengah malam yang dingin dan sunyi. Di tengah hutan dia dan Ayahnya berlatih pedang.
"Ayo...nak....ayunkan pedangmu sekuat tenaga....Habisi batang-batang pohon itu. Anggap batang-batang itu musuh-musuh yang harus kau taklukkan. Cepat ayunkan nak....ya...lebih cepat lagi.......,"teriak sang Ayah memompa semangat Paul saat latihan.
"Hahaha.........iya.....bagus nak.......tambahkan lagi kecepatannya.....fokus......fokus.....dan fokus....hahaha..ya...ya...cukup nak.....cukup...sudah cukup sekian dulu latihan sekarang ini, kita istirahat dulu. Ayo nak kita duduk di sana sambil menyantap bekal dari ibumu....,"teriak sang Ayah sembari melangkah menghampirinya dan merangkulnya untuk selanjutnya bersama-sama duduk di bawah sebuah pohon yang rindang.
"Nak, Ayah ingin menceritakan sebuah pengalaman. Pengalaman sewaktu Ayah remaja dahulu. Sebelum Ayah menjadi seorang ksatria seperti yang kau lihat saat ini,"sang Ayah membuka suara memecah kesunyian malam.
"Cerita, Ayah??? Wah...pasti menarik Yah.."seru Paul.
"Menarik tidaknya bukanlah hal yang terpenting yang ingin Ayah sampaikan. Setidaknya cerita Ayah akan menambah semangatmu. Ayah berharap nak...sangat berharap kelak kau menuruti jejak Ayah. Dahulu nak, Ayah hanyalah seorang remaja pengangguran. Ayah gemar sekali berkelana dari 1 kota ke kota yang lain. Melintasi rerimbaan hutan, mendaki gunung yang tinggi, menyeberangi sungai yang dalam dan berarus deras, menyusuri oasis yang penuh dengan binatang-binatang buas. Semua Ayah lakukan hanya untuk mencari jati diri Ayah."sang Ayah mulai bercerita
"Umur Ayah saat itu berapa ? Apakah seusiaku Ayah?"tanya Paul menyela cerita Ayahnya
Mendengar pertanyaan buah hatinya sang Ayah tersenyum dan melanjutkan ceritanya.
"Kurang lebih usia Ayah waktu itu sebaya denganmu saat ini. Dengan usia muda begitu tidaklah baik bagi seorang remaja untuk melanglang buana. Terlalu berbahaya. Tapi bagi Ayah jika hanya berdiam diri di rumah tidaklah kan mendapat pengalaman. Pengalaman itu penting bagi Ayah untuk melanjutkan masa hidup. Kau juga nak janganlah menjadi seorang lelaki yang sedikit pengalaman. Perbanyaklah wawasanmu. Buka cakrawala agar kau semakin hebat menapaki hidup ini. Agar bangsamu bangga memiliki seorang pemuda yang cerdas, terampil, dan berwawasan luas. Meskipun untuk semua yang kau inginkan itu tidaklah mudah dicapai. Banyak yang harus di hadapi di luar sana. Seperti halnya Ayah nak. Banyak rintangan dan halangan yang harus Ayah hadapi waktu itu. Ayah ingat satu kejadian dan ini yang membuat Ayah semakin sadar arti hidup di dunia Travian, dunia yang kita tempati ini. Waktu itu hujan turun dengan lebatnya disertai angin dan petir yang menggema di udara. Ayah terperangkap suasana itu di tengah kota yang belum Ayah ketahui kota apa namanya. Sekeliling hanya gelap yang terlihat meski samar-samar obor di setiap bangunan menerangi tapi tak banyak juga yang padam karena angin yang begitu kencangnya berhembus. Ayah mencari tempat berteduh...karena tidak mungkin Ayah akan meneruskan perjalanan saat suasana yang tidak mendukung itu. Dengan perasaan yang tidak menentu akhirnya Ayah sampai juga di sebuah padepokan di hampir tepian kota itu. Tidak ada yang menjaga malam itu sehingga Ayah dapat masuk ke dalam dengan mudah. Tetapi alangkah terkejutnya Ayah saat itu karena di padepokan itu sedang banyak orang. Kedatangan Ayah membuat orang-orang yang berada di situ menatap tajam penuh keheranan dan curiga. "Kenapa Ayah tidak berteduh di rumah-rumah penduduk?"sela Paul di tengah cerita Ayahnya.
"Nak kehidupan di luar sana jauhlah berbeda. Tidak semua tempat di dunia Travian mengenal arti perdamaian, persahabatan, dan kekeluargaan. Di dunia ini ( Travian ) kita lahir, tumbuh dewasa untuk perang, untuk mati nak. Hmm..Ayah akan teruskan cerita Ayah tadi. Karena kehadiran Ayah di tengah-tengah mereka membuat mereka ganjil, salah satu dari mereka bertanya kepada Ayah. "Mau apa kau kemari??? Dari mana kau berasal??"tanyanya. Ayahpun menjawab "Saya dari Velouza hanya ingin menumpang berteduh di sini sebentar sampai hujan reda." "Hmm...Velouza???Bukankan itu desa kekuasaan Roma??" tanyanya kepada orang-orang yang berada di sekitarnya duduk untuk selanjutnya berteriak kepada orang-orang itu "Lekas tangkap orang ini. Jangan-jangan dia mata-mata untuk mematai kita." Segera tanpa harus lama mereka berdiri dan melompat untuk menangkap Ayah. Karena ketakutan, Ayah berlari tak tentu arah. Hingga sampailah Ayah di sebuah kota untuk kemudian masuk ke dalam lumbung dan sembunyi di balik tumpukan gandum. Pasukan-pasukan yang mengejar Ayahpun berusaha mencari. Namun pasukan-pasukan itupun tidak lama kemudian terlibat pertempuran dengan pasukan dari kota tempat Ayah sembunyi. Mungkin kedatangan pasukan itu disangka hendak merampok. Sewaktu Ayah sedang menyaksikan pertempuran itu Ayah di kejutkan dengan suara setengah memanggil. Rupanya seorang prajurit yang gagah bersama 3 temannya yang menunggang kuda. "Hai sedang apa kau disini tidaklah boleh kau melihat pertempuran takut-takut kau jadi sasaran yang salah,"tanya prajurit gagah tersebut. "Saya tadi dikejar pasukan-pasukan itu kemudian saya bersembunyi di lumbung ini. Maafkan saya jika kehadiran saya disini membuat Anda tidak berkenan"kata sang Ayah sembari menunjuk pasukan yang mengejarnya tadi yang tidak lain adalah pasukan Teuton. Ternyata prajurit gagah tersebut tidak marah melainkan tersenyum dan dengan tangan yang diulurkan mengarah kepada Ayah, menyambut kehadiran Ayah dengan penuh kedamaian. "Mari saudaraku kau aman bersama kami. Perkenalkan saya Roderix dan ini kawan-kawan saya, Pourheich, Zeneich, dan Gilbertus. Perkenalkan juga kami dari bangsa Galius (Galia) yang kebetulan sedang lewat kota ini. Jikalau boleh kami tau dari manakah saudara?? tetapi jangan takut kami menerima siapa saja menjadi saudara meskipun dia dari suku bangsa manapun,"tanya Roderix si prajurit gagah tersebut. Ayahpun menjawab,"perkenalkanlah saya Robertinus dari Velouza wilayah kekuasaan Roma. Sebelumnya saya ingin menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya karena saya telah diberi keamanan dan pertolongan yang membuat diri saya terlindungi. Saya hanya seorang pengembara yang tak tau rimbanya, arah dan tujuan tak pernah menjadi tujuan pasti bagi saya."
"Hmm....kalau begitu jika tak keberatan ikutlah bersama kami. Nanti kau ku latih agar menjadi prajurit yang gagah berani."ajak Roderix. Tawaran dari Roderix Ayah terima dengan senang hati. Tak berapa lama setelah pertempuran itu berakhir Ayah bersama rombongan Galius itu merayap menyisir tepian kota hingga tibalah di sebuah kota kecil yang hanya berisikan kastil, gudang, lumbung, perangkap-perangkap, pabrik perisai, pandai besi, istal, gua-gua (crany), dan barak. Sedangkan bangunan-bangunan yang lain tampak berserakan puing-puingnya. Tampaknya hancur di serang. "Selamat datang di tempat kami. Semoga kau kerasan tinggal di sini. Kau akan aku antar ke barak untuk istirahat. Selanjutnya esok pagi biar kulatih kau."kata Roderix sesampainya di titik temu.
(bersambung)

0 komentar: